Di balik gemerlap kota-kota besar Indonesia, ada kenyataan pahit yang dialami oleh para pekerja berpenghasilan minimum dan tentu oleh seluruh masyarakat miskin, yakni ketiadaan hunian yang layak dan terjangkau. Keterbatasan lahan dan tingginya harga properti di perkotaan telah menciptakan jurang pemisah antara hak memiliki tempat tinggal dan realitas yang dihadapi oleh mereka yang hidup dengan penghasilan minimum bahkan rendah.
Di Jakarta, misalnya, harga lahan yang sangat mahal menjadi penghalang utama dalam menyediakan rumah yang layak dan terjangkau bagi pekerja dengan penghasilan UMR atau sekitar Rp 5 juta per bulan.
Akibatnya, banyak pekerja terpaksa tinggal di permukiman kumuh atau di pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja, mengorbankan waktu dan biaya transportasi yang tinggi. Situasi ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup mereka, tetapi juga produktivitas dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.
Selama ini, Reforma Agraria di Indonesia masih difokuskan pada wilayah perdesaan, dengan tujuan mendistribusikan tanah kepada petani dan masyarakat adat untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan. Namun, dengan meningkatnya urbanisasi dan tekanan terhadap lahan di perkotaan, kebutuhan akan Reforma Agraria Perkotaan menjadi semakin mendesak. Reforma Agraria Perkotaan bertujuan untuk mengatur ulang struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kota secara lebih berkeadilan, demi kesejahteraan masyarakat perkotaan.
Sebagai respon terhadap tantangan tersebut, Buletin KOMPOR edisi November 2024 mengangkat tema \”Reforma Agraria Perkotaan dan Koperasi Perumahan\”. Melalui pendekatan koperasi perumahan dan kepemilikan kolektif, gerakan ini menawarkan solusi alternatif untuk menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi pekerja berpenghasilan rendah.
Simak lebih lanjut dalam buletin yang dapat diunduh di tautan berikut:
https://drive.google.com/file/d/1Wt3n98f0vQuXWDHptq9TGXgAegB4jvAA/preview